SAMARINDA – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda menunjukkan keseriusan dalam menanggapi maraknya praktik perkawinan siri yang dilakukan oleh penghulu ilegal. Melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di ruang rapat utama DPRD, berbagai pihak terkait berkumpul untuk mencari solusi atas permasalahan ini.
Hadir dalam hearing tersebut anggota DPRD, perwakilan dari Kementerian Agama (Kemenag), pengacara, serta tim dari Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur.
Dalam pertemuan tersebut, pengacara Dyah Lestari, mengungkapkan kekhawatiran terkait banyaknya penghulu liar yang beroperasi tanpa adanya pengawasan.
“Hanya ada 17 penghulu resmi yang terdaftar sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di bawah pemerintah. Sisanya beroperasi tanpa aturan,” ungkap Dyah.
Ia menekankan praktik ini sangat merugikan perempuan dan anak terutama dalam aspek hukum dan administrasi kependudukan.
Dyah menjelaskan perkawinan siri menyebabkan anak tidak dapat memperoleh akta kelahiran dengan nama ayah, istri tidak memiliki perlindungan hukum, dan kesulitan dalam melaporkan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
“Masalah ini semakin kompleks karena perkawinan siri juga sering melibatkan anak di bawah umur,” tambahnya.
Sementara, kepala wilayah TRC PPA Kaltim, Rina Zainun, memberikan contoh kasus seorang anak berusia 14 tahun yang dinikahkan secara siri tanpa persetujuan orang tua.
Tim kuasa hukum TRC PPA Kaltim, Sudirman, menambahkan lemahnya regulasi menjadi penyebab utama maraknya penghulu ilegal.
“Kami mendesak DPRD untuk segera membuat aturan yang lebih tegas agar praktik ini dapat dikendalikan,” ungkapnya.
Perwakilan dari Kemenag Kota Samarinda, menegaskan penghulu resmi memiliki kewajiban untuk memastikan legalitas dan kepatuhan terhadap aturan pernikahan.
“Mereka juga mendorong upaya edukasi kepada masyarakat mengenai risiko yang terkait dengan perkawinan siri,” jelasnya.
DPRD Kota Samarinda berencana untuk mengkaji lebih dalam terkait aturan mengenai penghulu liar, termasuk kemungkinan untuk membentuk Peraturan Daerah (Perda) yang lebih ketat.
Wakil Ketua Komisi IV, Sri Puji Astuti, menyatakan hearing ini merupakan langkah awal dalam mencari solusi terbaik.
Anggota DPRD, Ismail Latisi, mengaitkan perkawinan siri dengan peningkatan kasus pernikahan anak di Samarinda. “Kurangnya regulasi mengenai penghulu liar mendorong orang tua yang ingin menikahkan anaknya di bawah umur untuk mencari jalan pintas melalui perkawinan siri,” tuturnya.
Setelah hearing, DPRD akan melakukan kajian lebih lanjut untuk mengatur keberadaan penghulu liar dan meningkatkan pengawasan agar praktik perkawinan siri tidak semakin tidak terkendali.
“Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan dan anak serta memperjelas aturan hukum terkait pernikahan di Samarinda,” jelasnya.
Pewarta: Dimas
Editor: Yahya Yabo