TERSIARNYA putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 02/PUU-XXI/2023 yang dirilis dalam situs resmi MK dengan judul “Aturan Masa Jabatan dalam UU Pilkada Konstitusional” mengundang respon sejumlah pihak. Berbagai persepsi dituangkan dalam tulisan yang sebenarnya tidak berkaitan dengan hasil putusan tersebut.
Termasuk mengaitkan putusan tersebut dengan masa jabatan Bupati Kukar Edi Damansyah yang diframing seolah-olah sudah menjabat dua periode. Sehingga tidak lagi bisa mencalonkan diri sebagai Bupati Kukar pada Pilkada serentak tahun 2024 mendatang. Padahal uraian penjelasan putusan tersebut tidak masuk dalam pembahasan periodesasi Bupati Kukar Edi Damansyah.
Lalu pertanyaan mendasar atas putusan a quo, adalah apakah Drs. Edi Damansyah masih memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon Bupati Kukar periode 2024 hingga 2009. Terutama jika dikaitkan dengan pertimbangan atas putusan a quo sebagaimana yang terdapat pada halaman 49 sampai dengan halaman 50.
Sebelum merincikan berbagai logika hukum atas putusan tersebut, ada baiknya menilik kembali kasus serupa pada pemilihan kepada daerah di daerah lain. Bahwa dalam pertimbangan putusan a quo terdapat kalimat: “yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUUXVIII/2020…” Makna kata dikuatkan dalam Putusan MK Nomor 67 ini sejatinya sama dengan keadaannya Edi Damansyah dengan Hamin Pou dahulu sebagai Calon Bupati Bone Bolango (periode 2010 s.d 2015). Sehingga pernah menjalani masa jabatan sebagai pelaksana tugas Bupati selama 2 tahun 8 bulan 9 hari, dan menjalani masa jabatan sebagai bupati definitif selama 2 tahun 3 bulan 21 hari.
Putusan a quo justru tidak menyatakan kalau Hamim Pou tidak lagi memenuhi syarat sebagai Calon Bupati periode 2021 hingga 2026, karena telah menjalani satu periode pada 2010 s.d 2015, dan satu periode lagi pada 2016 s.d 2021. Sekarang masih menjabat sebagai Bupati Bonebolango periode 2021 s.d 2026.
Sekiranya MK menyatakan bahwa Plt juga harus dihitung sebagai satu kesatuan, maka sudah dapat dipastikan dalam pertimbangan putusan a quo akan menyatakan bahwa mahkamah mengalami pergeseran pendapat, tetapi yang ternyatakan justru hanya “MENGUATKAN”.
Dan perlu pula diingat pula putusan sebelumnya, yaitu: Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, merupakan permohonan uji materil yang diajukan oleh salah satu pemohon yang bernama H. Nurdin Basirun, S.Sos.
Nurdin Basirun, pada fase pertama adalah Bupati Karimun yang pernah melalui masa jabatan Bupati defenitif (25 April 2005 s.d 14 Maret 2006) yang diangkat dari kedudukan sebelumnya dari wakil Bupati. Kemudian pada fase kedua, terpilih sebagai Bupati Karimun melalui hasil pemilihan secara langsung (dilantik pada 15 Maret 2006).
Oleh Mahkamah malah hanya mempersoalkan pula penghitungan jabatan definitif saja untuk H. Nurdin Basirun, S.Sos, sebagaimana dalam pertimbangannya yang menyatakan:
“[3.18] Menimbang bahwa yang menjadi persoalan ialah bagaimana jika masa jabatan periode pertama tidak penuh karena Pemohon menggantikan Pejabat Bupati/Walikota yang berhenti tetap, misalnya Pemohon II menjabat Bupati Karimun periode pertama selama kurang dari satu tahun (kurang dari separuh masa jabatan), sedangkan Pihak Terkait I menjabat Walikota Surabaya selama dua tahun sembilan bulan atau lebih dari separuh masa jabatan. Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa Penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak;
Mahkamah menilai tidak adil apabila seseorang menjabat kurang dari setengah masa jabatan disamakan dengan yang menjabat setengah atau lebih masa jabatan. Oleh sebab itu berdasarkan asas proporsionalitas dan rasa keadilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan;”
Selanjutnya, pertimbangan hukum atas putusan a quo berbunyi dalam putsan MK bernomor 02/PUU-XXI/2023 sebagai berikut:
Berdasarkan pertimbangan putusan-putusan di atas, khususnya pertimbangan hukum dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang menyatakan “masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan” yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUUXVIII/2020 yang menyatakan, “…setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya, jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”, sehingga Permohonan Pemohon yang menghendaki agar kata “menjabat” dalam frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat secara definitif”, dengan sendirinya telah terjawab oleh pertimbangan hukum Putusan tersebut…
Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020, makna kata “menjabat” dimaksud telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut. Dengan demikian, kata “menjabat” adalah masa jabatan yang dihitung satu periode, yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan kepala daerah. Oleh karena itu, melalui putusan a quo Mahkamah perlu menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan ”masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun PENJABAT SEMENTARA, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, pada sesungguhnya Edi Damansyah tetap dapat mendaftar sebagai calon Bupati Kukar periode 2024 sd 2029 dengan dasar argumentasi sebagai berikut:
1) Bahwa yang dilakukan pembatasan sebagai hitungan 1 periode dalam makna 2 ½ tahun atau lebih hanyalah pejabat definitif dan PENJABAT SEMENTARA. Nomenklatur penjabat sementara dengan pejabat sementara adalah dua hal yang berbeda, kalau PEJABAT sementara dalam teori merupakan genus pejabat yang terdiri atas Plt, Plh, Penjabat, dan Penjabat Sementara.
Sedangkan PENJABAT sementara adalah orang yang mengisi jabatan kepala daerah karena kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif sedang menjalani masa cuti kampanye.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1 angka 6 Permendagri Nomor 1 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota:
“PENJABAT Sementara yang selanjutnya disingkat Pjs adalah pejabat tinggi madya/setingkat atau pejabat tinggi pratama yang ditunjuk oleh Menteri untuk melaksanakan tugas gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota karena gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota Cuti di Luar Tanggungan Negara untuk melaksanakan Kampanye gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota.”
Edi Damansyah dalam hal ini tidak pernah menduduki jabatan sebagai PENJABAT SEMENTARA sebagaimana dimaksud dalam Permendagri tersebut, sehingga pembatasan yang dimaksud tidak mungkin berhubungan dengan kondisi jabatan yang pernah didudukinya sebagai Pelaksana Tugas; 2) Bahwa pun jika dipaksakan dalam hal ini makna penjabat sementara dalam pertimbangan putusan a quo diletakkan sebagai genus dari Pelaksana Tugas, juga tidak akan memenuhi Edi Damansyah dalam satu periode selama menjabat sebagai Plt Bupati dan Bupati Defenitif pada periode 2016 sd 2021, sebab mengapa? Putusan tersebut tidak mempertegas apakah masa jabatan Plt dan definitif (2016 sd 2021) dihitung sekaligus atau terpisah. Karena tidak ada penegasan demikian maka haruslah dimaknai terpisah, menjabat Plt selama 10 bulan 3 hari, menjabat sebagai bupati defenitif 2 tahun 9 hari, adalah kedua-duanya belum ada yang memenuhi selama 2 tahun 6 bulan;
3) Bahwa limit untuk mulai menghitung dari masa 2 tahun 6 bulan adalah dimulai pada hari pelantikan (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009, Pasal 38 PP 6/2005, dan Pasal 4 Ayat (1) Huruf o PKPU 9/2020 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota).
Perlu diingat bahwa dalam UU Pemda maupun dalam PP No. 49/2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pejabat Plt dimaksud tidak ada ketentuan yang mengatur untuk pelantikannya. Artinya Plt tidak DILANTIK, sehingga tidak mungkin ada batas untuk menghitung limit masa jabatan kalau hendak dipaksakan.
Bahwa apakah dalam kasus ini dahulu Edi Damansyah pernah dilantik sebagai pelaksana tugas Bupati (2026 sd 2021), ternyata ia bukan dilantik, tetapi hanya melalui pengukuhan, karena yang namanya pelantikan kepada pejabat yang bersangkutan harus dengan mengucapkan lafal sumpah: “demi Allah dst…”
Pengertian tentang pelantikan diatur dalam Pasal 1 angka 6 dan Pasal 11 Permendagri Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala dan/atau Wakil Kepala Daerah:
Pasal 1 angka 6:
Pelantikan adalah upacara resmi pengucapan sumpah/janji Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebelum memangku jabatan.
Pasal 11:
- Pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sesuai agama yang dianut, diawali dengan kata-kata sebagai berikut: a. bagi penganut agama Islam “Demi Allah, saya bersumpah”; b. bagi penganut agama Kristen/Katholik “Demi Tuhan saya berjanji” dan diakhiri “Semoga Tuhan Menolong Saya”; c. bagi penganut agama Hindu “Om Atah Paramawisesa”; dan d. bagi penganut agama Budha “Demi Sang Hyang Adi Budha saya berjanji”.
- Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji, akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undangundang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya:
Dihubungkan dangan naskah pengukuhan dan pakta integritas atas keadaannya dahulu Edi Damansyah pernah menduduki jabatan Plt Bupati, dengan pasal a quo, bukan terkualifikasi sebagai pelantikan karena sama sekali dalam naskah pengukuhan dan pakta integritas dimaksud tidak terdapat lafal sumpah/janji: demi Allah dst..;
4) Bahwa dalam pertimbangan putusan a quo terdapat kalimat: “yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUUXVIII/2020…” makna kata dikuatkan dalam Putusan MK Nomor 67 ini sejatinya sama dengan keadaannya Edi Damansyah dengan Hamin Pou dahulu sebagai Calon Bupati Bone Bolango (periode 2010 sd 2015), pernah menjalani masa jabatan sebagai pelaksana tugas Bupati selama 2 tahun 8 bulan 9 hari, dan menjalani masa jabatan sebagai bupati definitif selama 2 tahun 3 bulan 21 hari.
Putusan a quo justru tidak menyatakan kalau Hamim Pou tidak lagi memenuhi syarat sebagai Calon Bupati (periode 2021 sd 2026), karena telah menjalani satu periode pada 2010 sd 2015, dan satu periode lagi pada 2016 sd 2021 (sekarang masih menjabat sebagai Bupati Bonebolango, 2021 sd 2026).
Sekiranya MK menyatakan bahwa Plt juga harus dihitung sebagai satu kesatuan, maka sudah dapat dipastikan dalam pertimbangan putusan a quo akan menyatakan bahwa mahkamah mengalami pergeseran pendapat, tetapi yang ternyatakan justru hanya menguatkan.
Dan perlu pula diingat pula putusan sebelumnya, yaitu: Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, merupakan permohonan uji materil yang diajukan oleh salah satu pemohon yang bernama H. Nurdin Basirun, S.Sos.
Nurdin Basirun, pada fase pertama adalah Bupati Karimun yang pernah melalui masa jabatan Bupati defenitif (25 April 2005 sd 14 Maret 2006) yang diangkat dari kedudukan sebelumnya dari wakil Bupati. Kemudian pada fase kedua, terpilih sebagai Bupati Karimun melalui hasil pemilihan secara langsung (dilantik pada 15 Maret 2006).
Oleh Mahkamah malah hanya mempersoalkan pula penghitungan jabatan definitif saja untuk H. Nurdin Basirun, S.Sos, sebagaimana dalam pertimbangannya yang menyatakan:
“[3.18] Menimbang bahwa yang menjadi persoalan ialah bagaimana jika masa jabatan periode pertama tidak penuh karena Pemohon menggantikan Pejabat Bupati/Walikota yang berhenti tetap, misalnya Pemohon II menjabat Bupati Karimun periode pertama selama kurang dari satu tahun (kurang dari separuh masa jabatan), sedangkan Pihak Terkait I menjabat Walikota Surabaya selama dua tahun sembilan bulan atau lebih dari separuh masa jabatan. Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa Penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak;
Mahkamah menilai tidak adil apabila seseorang menjabat kurang dari setengah masa jabatan disamakan dengan yang menjabat setengah atau lebih masa jabatan. Oleh sebab itu berdasarkan asas proporsionalitas dan rasa keadilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan;” (**)
Oleh: Muhammad Nursal, Kuasa Hukum Pemohon Edi Damansyah