spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Nelayan Berau Desak Hukum Ditegakkan untuk Pelaku Bom Ikan

TANJUNG REDEB – Kasus pengeboman ikan di wilayah perairan Kabupaten Berau, ternyata belum mendapatkan perhatian serius dari pihak berwenang.

Suriyadi, Ketua Kelompok Nelayan MARLIN dari Balikukup, Kecamatan Batu Putih, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi laut Berau yang semakin memburuk akibat tindakan pengeboman ikan.

“Kasus pengeboman ikan di perairan Balikukup telah terjadi selama puluhan tahun, tetapi pada tahun 2020, aktivitas pengeboman ini kembali meningkat, terutama oleh nelayan yang menggunakan kompresor di perairan Balikukup dan perairan Karang Dangalahan,” ungkapnya kepada Media Kaltim (Radar Media Group) beberapa waktu lalu.

Padahal, kata Suriyadi, perairan tersebut adalah tempat berkembang biaknya penyu hijau.

“Akibatnya, sekarang ini, terumbu karang di perairan Balikukup, Dangalahan, dan Pulau Mataha mengalami kerusakan serius,” sebutnya.

Seperti diketahui, metode penangkapan ikan dengan menggunakan bom merupakan tindakan merusak yang membahayakan ekosistem laut dan keberlanjutan sumber daya ikan.

Selain itu, cara ini juga membahayakan kehidupan nelayan tradisional yang berjuang untuk menghidupi keluarga mereka.

Pada tahun 2020, terjadi gesekan antara nelayan pemancing dan nelayan kompresor, bahkan tindakan kekerasan. Sayangnya, respons dari pihak kepolisian Balikukup hanya terbatas pada memberikan peringatan, tanpa tindakan tegas yang diambil.

“Kami dari nelayan pemancing selalu mengingatkan nelayan yang menggunakan kompresor agar tidak menyelam di area tempat ikan bertelur. Namun, peringatan ini sering kali diabaikan. Justru konflik antara nelayan pemancing dan nelayan kompresor terus meningkat,” keluhnya.

Karena itulah, ia berharap agar Pemkab Berau, Pemprov Kaltim, dan Pusat Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tarakan tidak berdiam diri.

“Kami minta agar ada tindakan tegas diambil terhadap nelayan yang menggunakan kompresor karena ini melanggar hukum,” sebutnya.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Pasal 9 Ayat (1), ditegaskan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan yang merusak sumber daya ikan di wilayah perairan Indonesia.

Dalam kasus ini, alat penangkapan ikan yang merusak termasuk di antaranya adalah jaring pukat harimau dan kompresor.

“Sudah ada sosialisasi yang dilakukan di Desa Pulau Balikukup terkait larangan penggunaan bom potasium dan kompresor sebagai alat bantu selam. Nelayan yang menggunakan kompresor seharusnya mengetahui larangan ini. Namun, mereka tampaknya merasa dilindungi oleh surat peringatan yang diberikan pihak berwenang,” bebernya.

Bahkan, hingga saat ini, belum ada laporan tentang tindakan tegas yang diambil terhadap nelayan yang menggunakan racun potasium di perairan tersebut, meskipun telah ada tiga kali sosialisasi terhadap larangan ini.

“Kami dari nelayan tradisional sangat berharap agar tindakan nyata segera diambil untuk melindungi ekosistem laut Berau dan memastikan keberlanjutan sumber daya ikan,” pungkasnya.(Rm)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img