spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Terkait Dugaan Pertamax Pemicu Kerusakan Kendaraan, Akademisi ITK Angkat Suara

BALIKPAPAN – Dalam beberapa hari belakangan ini ramai pembahasan terkait Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax yang diduga menjadi penyebab terjadinya kerusakan pada sejumlah kendaraan bermotor di Kalimantan Timur. Di mana para pemilik kendaraan mengungkapkan kendaraan yang dimiliki mengalami mesin ‘brebet’ hingga mogok setelah mengisi BBM jenis Pertamax di salah satu SPBU.

Salah seorang pemilik kendaraan bermotor, Sultan, mengatakan sepeda motornya mengalami hal tersebut dan kemudian harus dilakukan perbaikan di bengkel dengan biaya servis mencapai Rp 800 ribu.

“Habis isi bensin Pertamax, perjalanan pulang motor pas naik gunung enggak kuat sampai akhirnya mati,” ujarnya.

Senada dengan Sultan, Yulius mengalami nasib yang serupa. Sepeda motornya mengalami masalah dan harus dibawa ke bengkel untuk dilakukan servis.

“Dari mekanik bengkelnya disuruh kuras tangki bensin. Nah, pas diambil itu Pertamax-nya berwarna biru muda. Enggak seperti dari SPBU yang biru gitu,” jelasnya.

Fenomena kerusakan kendaraan yang diduga disebabkan oleh BBM jenis Pertamax ini mendapatkan respon dari seorang akademisi dari pusat unggulan IPTEK Teknologi Pengendalian Emisi Maritim Institut Teknologi Kalimantan, Dr. Eng, Samsu Dlukha Nurcholik.

Samsu Dlukha Nurcholik mengatakan terjadinya permasalahan tersebut ada dua kemungkinan yakni bisa disebabkan oleh kualitas bahan bakar atau kondisi kendaraan itu sendiri.

Apabila disebabkan oleh bahan bakar, maka kualitas bahan bakar yang tidak memenuhi standar dapat disebabkan oleh kontaminasi air, keberadaan zat-zat asing atau degradasi akibat penyimpanan yang terlalu lama.

“Kontaminasi air dalam ruang bakar dapat menyebabkan fenomena ‘water hammer’, yang berpotensi merusak komponen-komponen vital seperti piston, batang piston, blok mesin, dan kepala silinder,” ujarnya.

Namun apabila masalah pada kendaraan seperti pengapian atau suplai bahan bakar yang kurang baik dapat menjadi penyebab. Sehingga dampak jangka panjang dari permasalahan ini memicu kerusakan mesin yang parah. Muaranya, kebutuhan untuk melakukan perbaikan besar atau turun mesin dapat terjadi kalau tidak segera ditangani.

“Termasuk degradasi bahan bakar akibat penyimpanan terlalu lama dapat menurunkan oktan, mengubah komposisi kimia, dan membentuk endapan,” jelasnya.

Namun untuk menentukan penyebab pasti, analisis laboratorium terhadap sampel bahan bakar sangat diperlukan. Hasil pengujian tersebut akan memberikan konfirmasi mengenai kesesuaian bahan bakar dengan standar yang ditetapkan pemerintah.

“Analisis laboratorium diperlukan untuk memastikan, apakah bahan bakar sudah sesuai standar pemerintah,” tambahnya.

Disinggung soal tidak semua kendaraan mengalami hal serupa, Dlukha mengungkapkan apabila variasi spesifikasi kendaraan, khususnya dalam sistem bahan bakar, memengaruhi kerentanannya terhadap kontaminasi bahan bakar. Kendaraan dengan sistem bahan bakar karburator mengandalkan gravitasi berbeda dengan kendaraan modern yang menggunakan pompa bahan bakar. Pada kendaraan modern, kontaminan dalam bahan bakar berpotensi menyumbat filter dan merusak pompa bahan bakar.

“Respons kendaraan modern terhadap bahan bakar terkontaminasi bervariasi, karena perbedaan sistem suplai dan lapisan tangki. Yang dapat memicu reaksi kimia dan menghasilkan partikel mengganggu,” tegasnya.

Berdasarkan observasi dari berbagai sumber media sosial, Dlukha menyimpulkan terdapat indikasi terkait ada penurunan kualitas bahan bakar menjadi penyebab utama gejala ‘brebet’ dan mogok pada kendaraan. Karena itu, ia menilai pemerintah, khususnya Kementerian ESDM dan lembaga terkait, perlu menyelidiki penyebabnya dan memastikan kualitas bahan bakar di pasaran saat ini.

“Pemerintah perlu menguji kualitas bahan bakar secara menyeluruh dengan melibatkan produsen, distributor, dan penyalur guna memastikan kepatuhan standar dan mendeteksi kontaminan,” ungkapnya.

Pewarta: Aprianto
Editor: Yahya Yabo

⚠️ Peringatan Plagiarisme

Dilarang mengutip, menyalin, atau memperbanyak isi berita maupun foto dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Redaksi. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp4 miliar.

INFO GRAFIS